Cerita berikut adalah sisa-sisa kenangan bersama seseorang yang dulu pernah ada buat aku.
Happy reading :)
jauh ya? Iya jauh banget buat aku. Pernah nggak ngerasa nyesek banget gitu tiap inget orang yang kita sayang ada di jarak sejauh itu? Mungkin kalo aku bilang nama kotanya, pasti bilang deket buat ke sana. Tapi pernah nggak kita meneliti ulang usaha-usaha kita buat menempuh jarak itu? Apa yang harus kita lakuin di sana dan benar-benar berkesan? Dan bagaimana kita berusaha mengurangi jarak tersebut?
“Kereta Mutiara Timur Jurusan Banyuwangi-Surabaya akan tiba 5 menit lagi dan memasuki jalur 4”. Aku bergegas mengemas tas jinjingku dan berjalan perlahan ke seberang rel, menunggu keretaku. Beberapa saat kemudian kendaraan besar berkerangka besi itu berhenti. Kumasuki salah satu gerbong kereta bertuliskan “Eksekutif 1”, dan mencari tempat dudukku. “A 6 B”, seorang wanita paruh baya duduk di salah satu kursinya, dan aku mengucapkan permisi sambil melewatinya. Kuhempaskan diriku di kursi, kubuka ponselku dan mulai mengetik pesan untuk ayah dan bunda. Lalu kereta mulai berjalan.
Waktu terasa berjalan begitu lambat, membuatku terus gelisah. Yang kupikirkan hanya satu. Ya, melihat wajahnya saat aku tiba di Surabaya nanti. Aku sudah menghubunginya, tapi dia sibuk dan meminta maaf karena tidak bisa menjemputku. Dia berjanji akan datang ke rumah nanti malam. “Cepatlah kereta, kenapa lama sekali sampainya”, batinku dalam hati. Waktu menunjukkan pukul 15:45, kereta sedang berhenti di Stasiun Wonokromo. Sejak berangkat tadi aku hanya melamun memandangi pemandangan dari jendela. Kenapa waktu serasa begitu lama?
Aku ingat dia pernah mengatakan, “Sebenernya gak lama, biasa aja, tapi karena kita mikir, jadi terasa lama.”. Dan aku berpikir seandainya saja 200km itu bisa ditempuh hanya dengan 1 jam saja, tentu kita akan lebih sering bertemu. Ya, seandainya. Tapi sekarang belum saatnya.
Jumat malam, dia benar-benar datang ke rumah. Esok harinya, aku dan dia mulai berjalan mengukir hal-hal kecil yang manis untuk kami. Begitupun juga besok, lusa, dan seterusnya.
5 hari telah berlalu. Pagi itu aku ke stasiun untuk memesan tiket kepulanganku. Siangnya dia mengajakku keluar. Mungkin karena kemarin kami tidak bertemu karena dia sibuk membantu ayahnya di bengkel.
Kami duduk di sebuah tempat duduk dari semen. Di seberangnya terdapat gedung futsal yang sudah terlihat usang, tetapi masih saja digunakan oleh anak-anak untuk bermain bola dan sekedar menghindari teriknya matahari sore. Dia memang bukan seseorang yang romantis, tidak juga pintar mengenai tata letak ataupun design, tapi dia selalu bisa membuatku terkesan. Satu tempat duduk sederhana yang membelakangi matahari sore, menghadap sebuah lapangan kecil berumput yang terdapat beberapa kuda sedang merumput, dan dikelilingi beberapa pohon jati muda yang daunnya sedang berguguran, tidak banyak suara, sepi dan sejuk. Sengaja atau tidak, tak peduli, yang penting aku senang.
Aku diam menikmati apa yang kulihat ditemani angin sepoi-sepoi dan tentu saja dirinya. Dia masih duduk di atas motor kesayangannya, mengamatiku dalam diam. Saat itu aku merasa, inikah yang aku inginkan? Haruskah saat-saat seperti ini nantinya pergi? Dan aku hanya berujar dalam hati, semoga ini tidak cepat berakhir. Tanpa sadar butir-butir air mataku jatuh begitu saja. Lega rasanya, kepalaku terasa ringan. Setelah menahan rindu yang selalu terhalang oleh jarak dan waktu, mencoba menghalau setiap pahitnya pertengkaran agar tidak berujung perpisahan, dan menjaga hati untuk tetap terjaga dan berdiri kokoh. Dia kebingungan melihatku seperti itu. Aku tak peduli kalaupun akan diledek olehnya. Dia mendekatiku, menggenggam tanganku, menatapku bingung. Aku berkata, “Gak papa kok, liburan lain kali ajak ke sini lagi ya?”, dia mengangguk lalu tersenyum.
Esoknya aku bersiap untuk pulang. 1 minggu bersama, belum cukup rasanya untuk melepas semua rindu ini.. :'(
0 motivation:
Post a Comment