Sunday, February 2, 2014

Bumiku, Negeriku

Mungkin Bumi sudah terlalu sabar melihat tingkah kita. Kita yang katanya makhluk Sang Pencipta yang diberi akal dan pikiran. Kemanakah semua pikiran-pikiran hebat itu? Sudah berhentikah mereka memperhatikan Bumi selain hanya menjejalkan karya-karya mereka untuk dikenal dunia?

Mungkin Bumi bukan seorang kekasih yang menginginkan perhatian lebih, tapi sudahkah kita lihat apa yang diberikannya pada kita dan apa yang kita berikan padanya?

Sekarang Negeriku turut merasakan dampaknya. Ada apa dengan orang-orang di Negeri yang katanya ramah ini?

Apa salah kami, Bumi? Sebegitu murka kah dirimu pada Negeriku? Kemana aku harus berlari menghindari murkamu?

Berlari ke tepi sungai, aku hanyut.

Berpindah ke kaki gunung, gunung pun murka memuntahkan laharnya.

Bermukim di pinggir pantai, tsunami menerkamku.

Bertengger di tebing, aku terjatuh bersama longsoran tanah.

Hampir menyerah, aku bermigrasi ke kota, tapi banjir menggenangi rumahku.

Tolong hentikan semua ini, Bumi. Aku ingin tetap tinggal di sini. Dimana lagi tempat aman bagi kami? Tetangga? Memangnya mereka lebih peduli dari penghuni Negeriku sendiri? Tidak.

Beruntung Negeriku berpenghuni orang-orang berhati ksatria. Satu sakit, yang lain membantu. Seribu sakit, lebih dari seribu turun membantu. Karena itu, aku sedikit bisa menerima kemurkaanmu dan menggantinya dengan menolong saudara-saudaraku di sana.

Mungkin memang benar kata Ebiet, mungkin Tuhan juga mulai bosan melihat tingkah kita, manusia.

Untuk saudara-saudaraku satu Tanah Air yang sedang ditimpa musibah, entah Tuhan berniat memberikan teguran atau hendak menaikkan derajat kita, apapun keadaannya semoga kita diberi kesabaran yang rasa kemanusiaan yang lebih berlipat ganda. Aamiin.

0 motivation:

Post a Comment

 
;